GAMBARAN PENDERITA BATU EMPEDU (KOLELITIASIS) DI RUMAH SAKIT ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG PERIODE JANUARI 2010 – JANUARI 2011
PROPOSAL PENELITIAN
(KARYA TULIS ILMIAH)
Oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2011
GAMBARAN PENDERITA BATU EMPEDU (KOLELITIASIS) DI RUMAH SAKIT ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG PERIODE JANUARI 2010 – JANUARI 2011
PROPOSAL PENELITIAN
(KARYA TULIS ILMIAH)
Disusun sebagai salah satu syarat memperoleh Gelar
Sarjana Kedokteran
Oleh :
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MALAHAYATI
BANDAR LAMPUNG
2011..
LEMBAR PERSETUJUAN
Proposal Karya Tulis Ilmiah dengan judul :
Gambaran Penderita Batu Empedu (Kolelitiasis) di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung Periode Januari 2010 – Januari 2011
Nama :
NPM :
Telah diperiksa dan disetujui oleh pembimbing untuk seminar proposal.
Bandar Lampung, . . . . . . . . . . . .
Pembimbing I Pembimbing II
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal Karya Tulis Ilmiah dengan judul ” Gambaran Penderita Batu Empedu (Kolelitiasis) di RS Abdul Moeloek Bandar Lampung Periode Januari 2010 – Januari 2011”.
Proses penulisan ini dapat terselesaikan atas bantuan berbagai pihak, maka dengan selesainya proposal Karya Tulis Ilmiah ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung.
2. Bapak dr Yusmaidi Sp,B selaku Pembimbing I dan Bapak Drs Hendri Busman M,Biomed selaku pembimbing II yang selalu meluangkan waktunya untuk membimbing dalam penyusunan proposal Karya Tulis Ilmiah ini.
3. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan proposal Karya Tulis Ilmiah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa penulisan proposal Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan.
Bandar Lampung, . . . . . . . . . . . .
(.................................)
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Lembar Persetujuan..............................................................................................
Kata Pengantar.....................................................................................................
Abstrak................................................................................................................
Daftar Isi.............................................................................................................
Daftar Gambar....................................................................................................
Daftar Tabel.......................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang,...........................................................................
I.2. Rumusan Masalah........................................................................
I.3. Tujuan Penelitian...........................................................................
I.3.1. Tujuan Umum........................................................................
I.3.2. Tujuan Khusus.......................................................................
I.4. Manfaat Penelitian............................................................................
I.4.1. Manfaat Umum...............................................................
I.4.2. Manfaat Khusus.............................................................
I.5. Kerangka Teori.......................................................................
I.6. Kerangka Konsep....................................................................
BAB II Tinjauan Pustaka.................................................................................
II.1. Definisi Kolelitiasis................................................................
II.2. Epidemiologi Kolelitiasis........................................................
II.3. Anatomi Kandung Empedu...........................................................
II.4. Fisiologi Kandung Empedu.....................................................
II.5. Etiologi Kandung Empedu......................................................
II.6. Faktor Resiko Kolelitiasis.......................................................
II.7. Patofisiologi Kolelitiasis.........................................................
II.8. Klasifikasi Kolelitiaisis...........................................................
II.9. Gejala Klinis Kolelitiaasis.......................................................
II.10. Komplikasi Kolelitiasis.................................................................
II.11. Diagnosis Kolelitiasis ...........................................................
II.12. Penatalaksanaan Kolelitiasis....................................................
BAB III Metodologi Penelitian........................................................................
III.1. Jenis Penelitian...............................................................................
III.2. Waktu & Tempat Penelitian...........................................................
III.3. Rancangan Penelitian.....................................................................
III.4. Populasi & Sampel Penelitian........................................................
III.5. Variabel Penelitian.........................................................................
III.6. Definisi Operasional Variabel........................................................
III.7. Pengumpulan Data.........................................................................
III.8. Pengolahan Data.............................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan yang penting di negara barat (Sudoyo,2006). Angka kejadiannya lebih dari 20% populasi dan insiden meningkat dengan bertambahnya usia (Keshav,2004). Di negara Barat, batu empedu mengenai 10% orang dewasa. Angka prevalensi orang dewasa lebih tinggi di negara Amerika Latin (20%-40%) dan rendah di negara Asia (3%-4%). (Robbins,2007)
Di Amerika Serikat, terhitung lebih dari 20 juta orang Amerika dengan batu empedu dan dari hasil otopsi menunjukkan angka kejadian batu empedu paling sedikit 20% pada wanita dan 8% pada laki-laki di atas umur empat puluhan. Di Inggris, sekitar 5,5 juta orang dengan batu empedu dan dilakukan lebih dari 50 ribu kolesistektomi tiap tahunnya. (Beckingham,2001)
Sedangkan di Indonesia baru mendapatkan perhatian di klinis, sementara publikasi penelitian batu empedu masih terbatas. Sebagian besar pasien dengan batu empedu tidak mempunyai keluhan. Risiko penyandang batu empedu untuk mengalami gejala dan komplikasi relatif kecil. Walaupun demikian, sekali batu empedu mulai menimbulkan serangan nyeri kolik yang spesifik maka resiko untuk mengalami masalah dan penyulit akan terus meningkat. (Sudoyo,2006)
Sekitar 1 juta pasien baru terdiagnosis mengidap batu empedu per tahun, dengan dua pertiganya menjalani pembedahan. Angka kematian akibat pembedahan untuk bedah saluran empedu secara keseluruhan sangat rendah, tetapi sekitar 1000 pasien meninggal setiap tahun akibat penyakit batu empedu atau penyulit pembedahan. (Robbins,2007)
Dengan perkembangan peralatan dan teknik diagnosis yang baru Ultrasonografi (USG) maka banyak penderita batu kandung empedu yang ditemukan secara dini sehingga dapat dicegah kemungkinan terjadinya komplikasi. Semakin canggihnya peralatan dan semakin kurang invasifnya tindakan pengobatan sangat mengurangi morbiditas dan moralitas. (Sabiston,1994)
Oleh karena itu, maka penulis ingin mengetahui gambaran penderita batu empedu (kolelitiasis) di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Januari 2010 – Januari 2011.
I.2. Rumusan Masalah
Oleh karena semakin meningkatnya angka kejadian kolelitiasis, maka penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut “bagaimana gambaran penderita batu empedu (kolelitiasis) di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Januari 2010 – Januari 2011?”.
I.3. Tujuan Penelitian
I.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran penderita batu empedu (kolelitiasis) di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Januari 2010 – Januari 2011.
I.3.2. Tujuan Khusus
Diperolehnya gambaran penatalaksanaan pada penderita batu empedu (kolelitiasis) di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Januari 2010 – Januari 2011.
I.4. Manfaat Penelitian
I.4.1. Manfaat umum :
1. Manfaat bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan mengenai gambaran penderita batu empedu (kolelitiasis) di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Januari 2010 – Januari 2011.
2. Manfaat bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat mengetahui gambaran penderita batu empedu (kolelitiasis) di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Januari 2010 – Januari 2011
3. Manfaat Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan bacaan dan referensi untuk menambah wawasan khususnya mengenai gambaran penderita batu empedu (kolelitiasis) di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Januari 2010 – Januari 2011
I.4.2. Manfaat Khusus :
1 Manfaat bagi peneliti
Penelitian ini sangat berguna untuk menambah pengalaman dalam penelitian dan sebagai bahan untuk menerapkan ilmu yang telah didapat selama kuliah serta sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kedokteran
I.5. Kerangka Teori
Kerangka teori penelitian adalah hubungan antara teori-teori yang diamati atau di ukur melalui penelitian yang akan dilakukan. Adapun kerangka teori yang akan diteliti yaitu : (Notoatmodjo,2010)
| |||
|
Gambar 1.1. Kerangka Teori
I.6. Kerangka Konsep
|
Gambar 1.2. Kerangka Konsep
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi Kolelitiasis
Kolelitiasis disebut juga Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang terbentuk di dalam kandung empedu. (Sjamsuhidajat,2005)
II.2. Epidemiologi Kolelitiasis
Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu empedu ditemukan di Amerika Serikat. Kasus tersebut sebagian besar didapatkan di atas usia pubertas, sedangkan pada anak-anak jarang. Orang gemuk ternyata mempunyai resiko tiga kali lipat untuk menderita batu empedu. Insiden pada laki-laki dan wanita pada batu pigmen tidak terlalu banyak berbeda. (Mansjoer,1999)
Avni Sali membuktikan bahwa diet tidak berpengaruh terhadap pembentukan batu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi jenis batu yang terbentuk. Hal ini disokong oleh peneliti dari Jepang yang menemukan bukti bahwa orang dengan diet berat biasanya menderita batu jenis kolesterol, sedangkan yang dietnya tetap biasanya menderita batu jenis pigmen. Faktor keluarga juga berperan dimana bila keluarga menderita batu empedu kemungkinan untuk menderita penyakit tersebut dua kali lipat dari orang normal. (Mansjoer,1999)
II.3. Anatomi Kandung Empedu
Kandung empedu ( Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada permukaan visceral hepar. Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati. (Reksoprodjo,1995)
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica kanan. V. cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu. (Reksoprodjo,1995)
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus. (Reksoprodjo,1995)
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus. Pada banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula Vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampla dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai Sfingter Oddi. (Sjamsuhidajat,2005)
Gambar 2.1 Anatomi Kandung Empedu (Putz, 2003)
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu. Kandung empedu mampu menyimpan sekitar 45 ml empedu yang dihasilkan hati. Empedu yang dihasilkan hati tidak langsung masuk ke duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan disimpan di kandung empedu. Pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik dalam kandung empedu sehingga cairan empedu dalam kandung empedu akan lebih pekat 10 kali lipat daripada cairan empedu hati. Secara berkala kandung empedu akan mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter Oddi. Rangsang normal kontraksi dan pengosongan kandung empedu adalah masuknya kimus asam dalam duodenum. Adanya lemak dalam makanan merupakan rangsangan terkuat untuk menimbulkan kontraksi. Hormone CCK juga memperantarai kontraksi. (Sjamsuhidajat,2005)
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah pembentukan batu (kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis). Dua keadaan ini biasa timbul sendiri-sendiri, atau timbul bersamaan. (Price,2006)
II.4.. Fisiologi Kandung Empedu
Vesica fellea berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Vesica fellea mempunya kemampuan memekatkan empedu. Dan untuk membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan – lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel- sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli. (Reksoprodjo,1995)
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum. (Snell,2002)
II.4.1. Pengosongan kandung empedu
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu dalam cairan empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu pencernaan dan absorbsi lemak. (Reksoprodjo,1995)
II.5. Etiologi Batu Empedu
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling penting adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu. (Sjamsuhidajat,2005)
Sementara itu, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar empedu.
II.6. Faktor Risiko
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor risiko di bawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1. Jenis kelamin. Wanita memiliki resiko 3 kali lipat terkena kolitiasis dibandingkan pria. Ini dikarenakan hormon estrogen berpengaruh terhadap peningkatan ekskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang meningkatkan kadar estrogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (estrogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu.
2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia >60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang usia yang lebih muda.
3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini dikarenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi kontraksi/pengosongan kandung empedu.
4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gastrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingkan dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktivitas fisik. Kurangnya aktivitas fisik berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
7. Penyakit usus halus. Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.
II.7. patofisiologi kolelitiasis
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik. (Schwartz,2000)
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan. (Schwartz,2000)
II.8. Klasifikasi kolelitiasis
Menurut gambaran makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan.
1. Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol. Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol). Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
a. Supersaturasi kolesterol
b. Hipomotilitas kandung empedu
c. Nukleasi/ pembentukan nidus cepat.
2. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20% kolesterol. Jenisnya antara lain:
a. Batu pigmen kalsium bilirubinan (pigmen coklat)
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya batu pigmen cokelat.umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu dalam empedu yang terinfeksi.
b. Batu pigmen hitam.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan sisa zat hitam yang tak terekstraksi.1 Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu dengan empedu yang steril.
3. Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol.
II.9. Gejala Klinis Kolelitiasis
Batu empedu mungkin tidak menimbulkan gejala selama berpuluh tahun, 70% hingga 80% pasien tetap asimtomatik seumur hidupnya (Robbins,2007). Penderita batu empedu sering mempunyai gejala-gejala kolestitis akut atau kronik. Bentuk akut ditandai dengan nyeri hebat mendadak pada abdomen bagian atas, terutama ditengah epigastrium. Lalu nyeri menjalar ke punggung dan bahu kanan (Murphy sign). Pasien dapat berkeringat banyak dan berguling ke kanan-kiri saat tidur. Nausea dan muntah sering terjadi. Nyeri dapat berlangsung selama berjam-jam atau dapat kembali terulang. (Sjamsuhidajat,2005)
Gejala-gejala kolesistitis kronik mirip dengan fase akut, tetapi beratnya nyeri dan tanda-tanda fisik kurang nyata. Sering kali terdapat riwayat dispepsia, intoleransi lemak, nyeri ulu hati atau flatulen yang berlangsung lama. Setelah terbentuk, batu empedu dapat berdiam dengan tenang dalam kandung empedu dan tidak menimbulkan masalah, atau dapat menimbulkan komplikasi. Komplikasi yang paling sering adalah infeksi kandung empedu (kolesistitis) dan obstruksi pada duktus sistikus atau duktus koledokus. Obstruksi ini dapat bersifat sementara, intermitten dan permanent. Kadang-kadang batu dapat menembus dinding kandung empedu dan menyebabkan peradangan hebat, sering menimbulkan peritonitis, atau menyebakan ruptur dinding kandung empedu. (Sjamsuhidajat,2005)
II.10.. Komplikasi Kolelitiasis
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita kolelitiasis : (Sjamsuhidajat,2005)
1. Asimtomatik
2. Obstruksi duktus sistikus
3. Kolik bilier
4. Kolesistitis akut
5. Perikolesistitis
6. Peradangan pankreas (pankreatitis)-angga
7. Perforasi
8. Kolesistitis kronis
9. Hidrop kandung empedu
10. Empiema kandung empedu
11. Fistel kolesistoenterik
12. Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu muncul lagi)
13. Ileus batu empedu (gallstone ileus)
Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan menghasilkan kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding (dapat ditutupi alat sekiatrnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata. (Sjamsuhidajat,2005)
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan pankretitis. (Sjamsuhidajat,2005)
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi. (Sjamsuhidajat,2005)
II.11. Diagnosa Kolelitiasis
II. 11. 1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimtomatis. Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba. (Sjamsuhidajat,2005)
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam. (Sjamsuhidajat,2005)
II. 11. 2. Pemeriksaan Fisik
1. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pankretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien berhenti menarik nafas. (Sjamsuhidajat,2005)
2. Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diketahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3 mg/dl, gejala ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis. (Sjamsuhidajat,2005)
II. 11. 3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut. (Sjamsuhidajat,2005)
Penyaringan bagi penyakit saluran empedu melibatkan penggunaan banyak tes biokimia yang menunjukkan disfungsi sel hati yaitu yang dinamai tes fungsi hati. Bilirubin serum yang difraksionasi sebagai komponen tak langsung dan langsung dari reaksi Van den bergh, dengan sendirinya sangat tak spesifik. Walaupun sering peningkatan bilirubin serum menunjukkan kelainan hepatobiliaris, bilirubin serum bisa meningkat tanpa penyakit hepatobiliaris pada banyak jenis kelainan yang mencakup episode bermakna hemolisis intravaskular dan sepsis sistemik. Tetapi lebih lazim peningkatan bilirubin serum timbul sekunder terhadap kolestatis intrahepatik, yang menunjukkan disfungsi parenkim hati atau kolestatis ekstrahepatik sekunder terhadap obstruksi saluran empedu akibat batu empedu, keganasan, atau pankreas jinak. (Sabiston,1994)
Bila obstruksi saluran empedu lengkap, maka bilirubin serum memuncak 25 sampai 30 mg per 100 ml, yang pada waktu itu eksresi bilirubin sama dengan produksi harian. Nilai >30 mg per 100 ml berarti terjadi bersamaan dengan hemolisis atau disfungsi ginjal atau sel hati. Keganasan ekstrahepatik paling sering menyebabkan obstruksi lengkap (bilirubin serum 20 mg per 100 ml), sedangkan batu empedu biasanya menyebabkan obstruksi sebagian, dengan bilirubin serum jarang melebihi 10 sampai 15 mg per 100 ml. (Sabiston,1994)
Alanin aminotransferase (dulu dinamai SGOT, serum glutamat-oksalat transaminase) dan Aspartat aminotransferase (dulu SGPT, serum glutamat-piruvat transaminase) merupakan enzim yang disintesisi dalam konstelasi tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan dalam aktivitas serum sering menunjukkan kelainan sel hati, tetapi peningkatan enzim ini ( 1-3 kali normal atau kadang-kadang cukup tinggi tetapi sepintas) bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran empedu, terutama obstruksi saluran empedu. (Sabiston,1994)
Fosfatase alkali merupakan enzim yang disintesisi dalam sel epitel saluran empedu. Pada obstruksi saluran empedu, aktivitas serum meningkat karena sel duktus meningkatkan sintesis enzim ini. Kadar yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu. Tetapi fosfatasi alkali juga ditemukan di dalam tulang dan dapat meningkat pada kerusakan tulang. Juga meningkat selama kehamilan karena sintesis plasenta. (Sabiston,1994)
2. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di fleksura hepatika. (Sjamsuhidajat,2005)
Gambar 3. Foto rongent pada kolelitiasis (Yekeler, 2004)
3. Pemeriksaan Ultrosonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa. (Sudoyo,2006)
Ultrasonografi sangat bermanfaat pada pasien ikterus. Sebagai teknik penyaring, tidak hanya dilatasi duktus biliaris ekstra dan intra hepatik yang bisa diketahui secara meyakinkan, tetapi kelainan lain dalam parenkim hati atau pankreas (seperti massa atau kista) juga bisa terbukti. Pada tahun belakangan ini, ultrasonografi jelas telah ditetapkan sebagai tes penyaring awal untuk memulai evaluasi diagnostik bagi ikterus. Bila telah diketahui duktus intrahepatik berdilatasi, maka bisa ditegakkan diagnosis kolestatis ekstrahepatik. Jika tidak didapatkan dilatasi duktus, maka ini menggambarkan kolestatis intrahepatik. Ketepatan ultrasonografi dalam membedakan antara kolestatis intra dan ekstrahepatik tergantung pada derajat dan lama obstruksi saluran empedu, tetapi jelas melebihi 90% .Distensi usus oleh gas mengganggu pemeriksaan ini. (Sabiston,1994)
4. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesistografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. (Sjamsuhidajat,2005)
II.12. Penatalaksanaan Kolelitiasis
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilang-timbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan berlemak. (Sjamsuhidajat,2005)
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan. (Sjamsuhidajat,2005)
Pilihan penatalaksanaan antara lain : (Schwartz,2000)
1. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. (Schwartz,2000)
2. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru.2 Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding perut. (Schwartz,2000)
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi. (Schwartz,2000)
3. Disolusi medis
Masalah umum yang mengganggu semua zat yang pernah digunakan adalah angka kekambuhan yang tinggi dan biaya yang dikeluarkan. Zat disolusi hanya memperlihatkan manfaatnya untuk batu empedu jenis kolesterol. Penelitian prospektif acak dari asam xenodeoksikolat telah mengindikasikan bahwa disolusi dan hilangnya batu secara lengkap terjadi sekitar 15%. Jika obat ini dihentikan, kekambuhan batu tejadi pada 50% pasien. (Schwartz,2000)
Kurang dari 10% batu empedu dilakukan cara ini sukses. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria terapi non operatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten. (Beckingham,2001)
4. Disolusi kontak
Meskipun pengalaman masih terbatas, infus pelarut kolesterol yang poten (Metil-Ter-Butil-Eter (MTBE)) ke dalam kandung empedu melalui kateter yang diletakkan per kutan telah terlihat efektif dalam melarutkan batu empedu pada pasien-pasien tertentu. Prosedur ini invasif dan kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi (50% dalam 5 tahun). (Schwartz,2000)
5. Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL)
Sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu, analisis biaya-manfaat pad saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. (Schwartz,2000)
6. Kolesistotomi
Kolesistotomi yang dapat dilakukan dengan anestesia lokal bahkan di samping tempat tidur pasien terus berlanjut sebagai prosedur yang bermanfaat, terutama untuk pasien yang sakitnya kritis. (Schwartz,2000)
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif retrospektif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif dengan melihat ke belakang (backword looking). (Notoatmodjo,2002)
Sumber data penelitian menggunakan data sekunder yaitu melihat variabel-variabel penelitian yang tercatat dalam rekam medik pasien penderita kolelitiasis selama periode Januari 2010 – Januari 2011.
III.2. Waktu dan Tempat Penelitian
III.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan November 2011 – Desember 2011
III.2.2. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di bagian Rekam Medik Rumah Sakit Abdul moeloek Bandar Lampung
III.3. Rancangan Penelitian
Metode penelitian yang dipakai adalah non eksperimental berupa survei deskriptif. Rancangan yang digunakan adalah cross sectional retrospektif yaitu penelitian yang mencari hubunagan variabel bebas atau resiko dan variabel terikat atau akibat dengan melakukan pengukuran sesaat terhadap kejadian yang telah terjadi di masa lampau. (Sudigdo,2002)
III.4. Populasi dan Sampel Penelitian
III.4.1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah semua data pasien yang tercatat di rekam medik rawat inap di Bagian Bedah Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung
III.4.2. Sampel Penelitian
Sampel penelitian adalah semua data pasien kolelitiasis yang tercatat pada rekam medik rawat inap yang memenuhi kriteria.
III.4.3. Cara Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan cara total sampling yaitu seluruh pasien kolelitiasis yang dirawat di Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung periode Januari 2010 – Januari 2011.
III.5. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah :
a. Usia
b. Jenis Kelamin
c. Keluhan utama
d. Keluhan tambahan
e. Pemeriksaan laboratorium
f. Penatalaksanaan
III.6. Definisi Operasional
Table 3.1
Definisi Operasional Variabel Gambaran Penderita Kolelitiasis
Variabel
|
Definisi
|
Alat Ukur
|
Cara Ukur
|
Hasil Ukur
|
Skala Ukur
|
Umur
|
umur dihitung berdasarkan ulang tahun terakhir penderita yang tercatat pada rekam medik
|
Rekam medik
|
Observasi
|
1: <18thn
2: 18-60thn
3: >60thn
|
Numerik
|
Jenis kelamin
|
ciri khas tertentu yang dimiliki oleh pasien sesuai yang tercatat di rekam medik
|
Rekam medik
|
Observasi
|
0: laki-laki
1: perempuan
|
Numerik
|
Gejala
|
Keluhan yang dialami pasien yang tercatat di rekam medik
|
Rekam medis
|
Observasi
|
1: nyeri perut kanan atas
2 : nyeri ulu hati
3: kulit berwarna kuning
4 : mual muntah
|
Numerik
|
Pemeriksaan laboratorium
|
Hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien kolelitiasis dan tercatat di rekam medis
|
Rekam medis
|
Observasi
|
1: kolesterol total
2: bilirubin total
3 : bilirubin direct
|
Numerik
|
III.7. Pengumpulan Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yaitu status rekam medik penderita kolelitiasis yang terdapat di bagian bedah Rumah Sakit Abdul Moeloek Bandar Lampung.
III.8. Pengolahan Data
Pengolah data dilakukan setelah diperoleh data sekunder dari rekam medik pasien. Langkah-langkah pengolahan data adalah sebagai berikut:
1. Menyusun data yang telah lengkap
2. Tabulasi data dengan membuat tabel distribusi untuk laporan variabel
3. Menyajikan dalam bentuk gambar
DAFTAR PUSTAKA
1. Beckingham, IJ. Gallstone disease. In: ABC of Liver, Pancreas and Gall Bladder. London: BMJ Books. 2001.
2. Keshav.S. The Gastrointestinal System at a Glance. London: Blackwell Science; 2004.
3. Kumar, Ramzi S. Cotran & Stanley L. Robbins. Buku Ajar Patologi Edisi 7. Penerbit EGC. Jakarta. 2007
4. Mansjoer A. etal, 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512. Penerbit Media Aesculapius, FKUI, Jakarta
5. Notoadmojdo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan, Edisi Revisi. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 2010
6. Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine McCarty. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006
7. Putz R, Pabst R. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2 edisi 21. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2003
8. Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, hal 71 – 77, Bina Rupa Aksara, Jakarta.
9. Sabiston David C. Buku Ajar Bedah, Bagian 2. Penerbit EGC. Jakarta. 1994
10. Schwartz S, Shires G, Spencer F. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery). Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2000. 459-464.
11. Sekijima J.H, Lee, Sum P. Gallstones and Cholecystitis. In: Humes D, Dupon L, editors. Kelley’s Textbook of Internal Medicine. 4th ed
12. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005.hal: 570-579
13. Snell, Richard S.. Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1, hal 265 – 266, Penerbit EGC, Jakarta. 2002
14. Sudigdo Sastroasmoro, Sofyan Ismael. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian dan Klinis. Jakarta: CV Sagung Seto. 2002
15. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV 2006, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
- Yekeler E, Akyol Y. Cholelithiasis. Dalam : New England Journal of Medicine. 2004 Avaliable from : http://content.nejm.org/cgi/content/full/351/22/2318#F1
Terimakasih untuk artikelnya, informasi yang bermanfaat.
BalasHapushttp://obattraditional.com/obat-tradisional-batu-empedu/