Shalat adalah ajaran dan amalan
terpenting dalam Islam. Shalat juga satu-satunya kewajiban dalam Islam yang
wajib diperintahkan kepada orang yang belum wajib melakukannya. Adalah
Rasulullah saw yang mengisyaratkan hal itu. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Ad-Daruquthni, Al-Hakim, Baihaqi, dan Ahmad,
Rasulullah saw menegaskan, “Suruhlah anak-anak kalian untuk shalat bila
mereka telah berumur 7 tahun. Pukullah mereka karena tidak shalat bila
telah berumur 10 tahun. Pisahkanlah mereka dari tempat tidur kalian.”
Dalam Islam, usia minimal baligh
adalah 9 tahun. Setelah mencapai usia ini, maka seorang anak telah dinilai dewasa
dan mandiri di hadapan Allah swt. Seluruh tingkah laku dan amal perbuatannya
menjadi tanggung jawabanya sendiri. Dia mulai menorehkan pahala untuk kebaikan
yang dilakukannya, dan dosa untuk maksiat yang diperbuatnya. Namun berkenaan
dengan perintah shalat, hadits di atas menyebut angka 7 tahun sebagai permulaan
pembelajaran shalat. Dengan kata lain, shalat wajib diajarkan kepada anak-anak
kecil yang belum baligh, minimal ketika mereka sudah menginjak 7 tahun.
Kewajiban mengajarkan shalat kepada anak yang belum wajib melakukannya
menunjukkan betapa pentingnya shalat dalam kehidupan seorang muslim. Shalat
wajib diajarkan meskipun belum wajib dikerjakan.
Lalu bagaimana shalat seharusnya
diajarkan? Merujuk pada hadits shalat di atas, maka pembelajaran shalat dapat
diurutkan ke dalam tiga fase, yaitu fase 0 – 7 tahun, fase 7 – 10 tahun,
dan fase 10 – dewasa.
Fase 0 – 7 tahun
Fase ini merupakan fase yang sangat
menentukan dalam pembelajaran shalat. Target pembelajaran pada fase ini adalah
mengenalkan shalat kepada anak, dan
mengenalkan kepada siapa shalat dilakukan. Sebagai fase pengenalan, pembentukan
motivasi adalah porsi terbesar yang harus diberikan kepada anak. Pada tahap
inilah motivasi-motivasi spiritual kepada anak ditanamkan. Selain mengenal
shalat, dengan motivasi spiritual anak juga akan mengenal Allah swt yang
kepada-Nya shalat dilakukan. Pada tahap ini anak belum diberi hukuman bila
tidak shalat, sebab kalau pun tidak shalat anak belum dinilai berdosa atau
membangkang terhadap Allah swt.
Hal-hal yang perlu dikenalkan
mengenai shalat kepada anak dimulai dari adanya ibadah shalat dalam Islam,
nama-nama shalat, waktu shalat, bilangan rakaat shalat, tempat shalat, dan
tata-cara shalat. Pengenalan ini adalah upaya membentuk kesiapan anak sehingga
ketika dia mencapai usaia 7 tahun dan mulai diperintah shalat, anak sudah
memiliki kesiapan secara mental dan emosional. Dengan demikian perintah shalat
pada fase itu, bukan lagi sebatas doktrinasi yang otoriter, namun penyadaran
akan motivasi yang telah dibangun selam 3 – 4 tahun lamanya.
Namun demikian, yang terpenting
harus dikenalkan sejak dini kepada anak pada fase ini adalah jawaban dari
mengapa harus shalat dan kepada siapa shalat dipersembahkan. Melalui metode
dialog yang penuh keakraban anak dikenalkan tentang peranan-peranan Allah
swt dalam hidupnya. Bahwa Allah swt adalah penciptanya, yang memberinya anggota
tubuh lengkap, yang menjaganya dari bencana, yang memberinya rejeki sehingga
bisa makan, minum dan berpakaian, merupakan kata-kata kunci mengenalkan Allah
swt pada anak. Selanjutnya shalat dikenalkan kepada anak sebagai ungkapan
terima kasih kepada Allah swt yang telah begitu baik kepadanya. Shalat adalah
kendaraan yang akan membawa anak bertemu Allah swt, seperti juga dia
berkendaraan mobil untuk bertemu dengan keluarga atau tempat yang disenanginya.
Kalimat-kalimat tersebut adalah contoh bagaimana shalat dikenalkan kepada anak
sebagai sesuatu yang perlu dan menarik untuknya. Kalimat-kalimat dialog ini
dapat dikembangkan dengan memperhatikan pola pikir dan perkembangan mental
anak.
Karena fase ini lebih berorientasi
pada pengenalan shalat maka motivasi materil, intimidasi, dan hukuman sangat
penting untuk dihindari dan dijauhkan dari pembelajaran shalat kepada anak.
Motivasi materil seperti shalat lah nanti Ayah beri uang, Ayo shalat nanti
Ibu belikan mainan, dan sejenisnya akan merusak pemahaman anak tentang
shalat. Motivasi seperti ini sangat berbahaya bagi anak, karena bukan
spiritualisasi yang dibangun, melainkan materialisasi. Begitu pula mengintimidasi
anak dengan hukuman atau bahkan menghukumnya karena tidak shalat, akan
berakibat pencitraan shalat sebagai beban berat dan menakutkan bagi anak.
Dialog dan pengenalan, adalah kata kunci pada fase ini.
Bagaimana bila dengan dialog dan
pengenalan itu, anak tidak serta merta melakukan shalat? Harus diakui masih
banyak orang tua yang memiliki pola pikir instan dan menempuh cara-cara yang
instan pula. Mengadopsi istilah dalam pembelajaran bahasa, setiap anak akan
mengalami sebuah proses yang disebut dengan silent periode atau masa
sunyi. Pada masa sunyi ini anak menangkap informasi, menyimpannya dalam
ingatan, dan mengolahnya menjadi sebuah konsep, dan mengubahnya menjadi sebuah
potensi. Setelah masa ini terlewati, maka anak akan masuk ke dalam periode bunyi,
di mana dia mulai menunjukkan respon terhadap motivasi yang telah diterimanya.
Konsep silent periode dapat
juga dianalogikan dengan menyiram bunga. Bunga yang disiram tidak serta merta
memunculkan bunga atau langsung mekar, melainkan diisapnya dulu air siraman
itu, diendapkan dan diolah menjadi energi. Selang beberapa hari, barulah
berbunga, mekar, dan menebar pesona. Seperti itulah seharusnya pembelajaran
shalat kepada anak dipahami. Dalam konteks pembelajaran shalat, dialog dan
pengenalan itu akan berbekas dalam diri anak untuk masa depannya. Anggaplah
fase 0 – 7 ini adalah silent periode anak dalam mengenal dan memahami
shalat. Bersabar dan berpikir positif tentang anak akan sangat membantu orang
tua dalam menjalani periode ini.
Dengan pengenalan dan motivasi
spiritual sebagai target pembelajaran, maka penguasaan fiqih shalat tidak
menjadi ukuran komitmen anak terhadap shalat. Dalam fase ini sangat mungkin
cara anak shalat masih sangat kacau, jauh dari tata cara shalat yang benar. Hal
seperti ini tidak lah menjadi masalah sebagai upaya pengenalan. Sekadar mau
shalat pada fase ini adalah prestasi anak yang patut diapresiasi. Pengenalan
fiqih shalat yang terlalu dini, apalagi dengan pendekatan yang kaku dan
instruktif, malah akan membuat anak resistan terhadap ajakan shalat.