TINJAUAN PUSTAKA


 


BAB II.

A.    Gender Dan Kesetaraan Gender
1.      Gender dan Jenis Kelamin
Kata gender digunakan secara sosiologis atau sebagai sebuah kategori konseptual. Di dalam perwujudannya, gender merujuk kepada definisi sosial budaya dari laki-laki dan perempuan serta memberikan peran-peran sosial kepada mereka. Hal ini digunakan untuk memahami realitas sosial dalam hubungannya dengan perempuan dan laki-laki (Bhasin, 2000:1).

Menurut Fakih (2004:8), untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara kata gender dengan (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan oleh Tuhan secara biologis, yaitu jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender memiliki pengertian sebagai sifat yang melekat pada kaum laki-laki atau perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun secara kultural. Misalnya perempuan di kenal sebagai sosok yang lemah lembut, emosional, cantik dan keibuan, sementara laki-laki di kenal sebagai sosok yang kuat, rasional, jantan dan perkasa. Demikian pula halnya dengan pembagian peran antara kaum laki-laki atau perempuan, di mana Perempuan di anggap hanya memiliki peran pada wilayah domestik (urusan rumah tangga) saja, sementara laki-laki di anggap memiliki peran pada wilayah publik/sosial yang lebih luas.

Hilary M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex dan Gender mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Pendapat ini sejalan dengan kaum feminis  yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (Illich, 1998).

Dari berbagai definisi tentang gender di atas dapat disimpulkan bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasikan perbedaan peran laki-laki dan perempuan di lihat dari segi pengaruh sosial budaya. Gender dalam arti ini adalah suatu  bentuk rekayasa manusia (social contruction) bukannya sesuatu yang bersifat kodrati.

Seks atau jenis kelamin adalah hal yang paling sering dikaitkan dengan gender dan kodrat. Dikarenakan adanya perbedaan jenis kelamin, perempuan dan laki-laki secara kodrat memang berbeda satu sama lain. Hubungan antara jenis kelamin (seks) dengan kodrat, secara sederhana dapat kita ilustrasikan seperti ini: ketika dilahirkan, laki-laki atau perempuan secara biologis memang berbeda. Laki-laki penis dan buah zakar sedangkan perempuan memiliki vagina. Pada saat mulai tumbuh besar, perempuan terlihat memiliki payudara, mengalami haid dan memproduksi sel telur. Sementara laki-laki mulai terlihat memiliki jakun dan memproduksi sperma. Secara alamiah, perbedaan-perbedaan tersebut bersifat tetap tidak berubah dari waktu ke waktu dan tidak dapat di pertukarkan fungsinya satu sama lain. Hal-hal seperti ini yang kemudian di sebut kodrat (William, 2006:3).

Berdasarkan hal tersebut, logikanya seseorang dapat dikatakan melanggar kodrat jika mencoba melawan atau mengubah fungsi-fungsi biologis yang ada pada dirinya. Gender sama sekali berbeda dengan pengertian jenis kelamin. Gender bukan jenis kelamin. Gender bukanlah perempuan ataupun laki-laki. Gender hanya memuat perbedaan fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan, yang terbentuk oleh lingkungan tempat kita berada. Gender tercipta melalui proses sosial budaya yang panjang dalam satu lingkup masyarakat tertentu, sehingga dapat berbeda di satu tempat ke tempat lainya. Berikut adalah perbedaan antara jenis kelamin dengan gender (Bhasin, 2004:4):
Table 2. Perbadaan Antara Jenis Kelamin Dengan Gender
No
Jenis Kelamin
Gender
1.
Jenis kelamin bersifat alamiah
Gender bersifat sosial dan merupakan buatan manusia
2.
Jenis kelamin bersifat biologis. Ia merujuk kepada perbedaan yang nyata dari alat kelamin dan perbedaan terkait dalam fungsi kelahiran.
Gender bersifat sosial budaya dan merujuk kepada tanggung jawab, peran, pola perilaku, kualitas-kualitas, dan lain-lain yang bersifat maskulin dan feminin.
3.
Jenis kelamin bersifat tetap, ia akan sama dimana saja.
Gender bersifat tidak tetap, ia berubah dari waktu ke waktu, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari satu keluarga ke keluarga lainnya.
4.
Jenis kelamin tidak bisa dirubah.
Gender bersifat sosial budaya dan merujuk kepada tanggung jawab, peran, pola perilaku, kualitas-kualitas, dan lain-lain yang bersifat maskulin dan feminin.

2.   Teori Nature dan Teori Nurture.
Dalam membahas mengenai gender, dikenal adanya 2 aliran atau teori, yaitu: teori Nature dan teori Nurture. Secara rinci teori-teori tersebut diuraikan sebagai berikut:
1)         Teori Nature
Menurut teori nature, adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat di pertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang berbeda secara kodrat alamiahnya.

Perbedaan biologis diyakini memiliki pengaruh pada peran yang bersifat naluri (instinct). Perjuangan kelas tidak pernah mencapai hasil yang memuaskan, karena manusia memerlukan kemitraan dan kerjasama secara struktural dan fungsional. Manusia, baik perempuan maupun laki-laki, memiliki perbedaan kodrat sesuai dengan fungsinya masing-masing.

2)         Teori Nurture
Menurut teori Nurture adanya perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu menyebabkan perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki-laki dalam perbedaan kelas. Laki-laki di identikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai proletar. Bagi kaum perempuan tidak ada pilihan lain kecuali dengan perjuangan menyingkirkan penindas demi untuk mencapai kebebasan dan persamaan, hal ini dikenal dengan konsep sosial konflik.


3.   Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender ditunjukan dengan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan di dalam pengambilan keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari peluang-peluang yang ada di sekitarnya. Kesetaraan gender memberikan penghargaan dan kesempatan yang sama pada laki-laki dan perempuan dalam menetukan  keinginannya dan menggunakan kemapuannya secara maksimal di berbagai bidang. Tidak peduli apakah dia seorang ibu rumah tangga, presiden, buruh pabrik, supir, pengacara, guru ataupun profesi lainnya jika kondisi-kondisi tersebut tidak terjadi pada dirinya maka dia tidak dapat dikatakan telah menikmati adanya kesetaraan gender (William, 2006:10)

Terdapat dua hal yang mencerminkan tidak adanya kesetaraan gender yaitu:
1.      Perempuan tidak diberikan kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang berguna bagi dirinya dan lingkungannya.
2.      Laki-laki tidak diberikan penghargaan yang sama dengan perempuan jika mereka memilih ‘masuk dapur’.

Pemikiran seperti ini umumnya muncul terutama pada kelompok masyarakat tradisional patriarkhi yang masih menganggap bahwa sudah kodratnya perempuan untuk melakukan pekerjaan dapur. Kegiatan memasak didapur (atau kegiatan domestik lainnya) adalah suatu bentuk pilihan pekerjaan yang sekian banyak jenis pekerjaan yang tersedia (misalnya guru, dokter, pilot, supir, montir, pedagang, dan lain-lain), yang tentu saja boleh dipilih oleh perempuan ataupun laki-laki. Kesetaraan gender memberikan pilihan, peluang dan kesempatan tersebut sama besarnya pada perempuan dan laki-laki (William, 2006:8).

Berkembangnya isu gender di masyarakat dan maraknya inisiatif-inisiatif yang memperjuangkan kesetaraan gender juga memicu sebagian orang menjadi berpikir dikotomis. Yang di maksud dengan cara berpikir dikotomis adalah cara berpikir yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada dua kubu yang bersebrangan. Perempuan ditempatkan pada kubu yang teraniaya dan lemah, sedangkan laki-laki di pandang sebagai kubu penguasa yang menjajah perempuan. Hasil dari pemikiran seperti ini tidak akan memunculkan perilaku sadar  gender dan tidak akan mendukung kearah terjadinya kesadaran gender, Kemudian yang akan muncul hanyalah perbedaan yang sangat menonjol antara peran perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat. Kondisi seperti ini tentunya bukanlah “kesetaraan gender”.

Terminologi ‘kesetaran gender’ seringkali di salah artikan dengan mengambil alih pekerjaan dan tanggung jawab laki-laki. Kesetaraan gender bukan berarti memindahkan semua pekerjaan laki-laki kepundak perempuan, bukan pula mengambil alih tugas dan kewajiban seorang suami oleh istrinya. Jika hal ini yang terjadi, bukan ‘kesetaraan’ yang tercipta melainkan beban dan penderitaan pada perempuan. Inti dari kesetaraan gender adalah menganggap semua orang pada pada kedudukan yang sama dan sejajar (equality), baik itu laki-laki maupun perempuan. Dengan mempunyai kedudukan yang sama, maka setiap individu mempunyai hak-hak yang sama, menghargai tugas dan fungsi masing-masing, sehingga tidak ada salah satu pihak yang mereka berkuasa, merasa lebih baik atau lebih tinggi kedudukannya dari pihak lainnya (William, 2006:11).

Dalam membahas kesetaraan gender di kenal dengan adanya Teori Equilibirium (keseimbangan). Teori Equilibirium (keseimbangan) adalah teori yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan kesetar keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.

Inti dari kesetaraan gender adalah kebebasan memilih peluang-peluang yang diinginkan tanpa ada tekanan dari pihak lain, kedudukan dan kesempatan yang  sama di dalam pengambilan keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari lingkungan.

B.     Gender Dalam Kepemimpinan
1.      Kepemimpinan
Mengenai definisi dari kepemimpinan, C.N. Cooley berpendapat bahwa “ the leader always the nucleus or tendency, and on the other hand, all social movement, closely examined will be found of tendencies having such nucleus (maksudnya pemimpin  itu selalu merupakan titik pusat dari suatu kecenderungan, dan pada kesempatan lain, semua gerakan sosial kalau di amati secara cermat akan ditemukan kecenderungan yang memiliki titik pusat)”. Atau ada juga pendapat dari G.U. Cleeton dan C.W. Mason, “leadership indicates the ability to influence men and secuire result through emotional appeal rather than through the exercise of authority (maksudnya kepemimpinan menunjukan kemampuan mempengaruhi orang-orang dan mencapai hasil melalui himbauan emosional dan ini lebih baik dibandingkan dengan melalui penggunaan kekuasaan)” (Syafe’i, 2003:2).

Tokoh lain yang memberikan pandangannya tentang kepemimpinan adalah  Howard H, Hoyt, yaitu seni untuk mempengaruhi tingkah laku manusia, kemampuan untuk membimbing orang. Senada dengan Hoyt, Ordway Tead menyatakan kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar merka mau bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan  (Kartono, 2004:57).

Kata kunci dari beberapa definisi di atas adalah:
a.                   Kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan atau kelompok.
b.                   Kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau orang lain.
c.                   Untuk mencapai tujuan organisasi atau kelompok.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan bersama sesuai dengan keinginan pemimpin. Kepemimpinan ada yang bersifat resmi (formal) yaitu kepemimpinan yang tersimpul di dalam suatu jabatan dan ada pula kepemimpinan karena pengkuan dari masyarakat akan kemampuan sesorang untuk menjalankan kepemimpinannya.

Teori kepemimpinan adalah penggeneralisasian satu segi prilaku pemimpin dan konsep-konsep kepemimpinannya, dengan menonjolkan latar belakang historis, sebab musabab timbulnya kepemimpinan, prasyarat menjadi pemimpin, tugas pokok dan fungsinya, serta etika profesi kepemimpinan (Kartono, 2004:31-32).

Teori kepemimpinan pada umumnya berusaha untuk memberikan penjelasan dan interpretasi mengenai pemimpin dan kepemimpinan dengan mengemukakan beberapa segi, antara lain:
a.              Latar belakang sejarah pemimpin dan kepemimpinan.
b.              Sebab-musabab munculnya pemimpin.
c.              Tipe dan gaya kepemimpinan
d.             Fungsi-fungsi kepemimpinan.



2.   Fungsi-Fungsi Kepemimpinan
Menurut Hadari Nawawi dan M. Martini Hadari (2000:74) kepemimpinan yang efektif hanya akan terwujud apabila dijalankan sesuai dengan fungsinya. Fungsi kepemimpinan itu berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok/organisasi masing-masing, yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan bukan diluar situasi.
Fungsi-fungsi kepemimpinan itu adalah:
a.              Fungsi instruktif
Fungsi ini berlangsung dan bersifat komunikasi satu arah. Fungsi instruktif adalah kemampuan pimpinan menggerakan orang lain agar melaksanakan perintah, yang bersumber dari keputusan yang telah ditetapkan.
b.              Fungsi konsultatif
Fungsi ini berlangsung dan bersifat komunikasi dua arah, meskipun pelaksanaannya sangat tergantung pada pihak pemimpin dengan menjalankan fungsi konsultatif dapat diharapkan keputusan-keputusan pimpinan akan mendapat dukungan dan lebih mudah mengintruksikannya, sehingga kepemimpinan berlangsung efektif.
c.              Fungsi partisipasi
Fungsi ini tidak sekedar berlangsung dan bersifat dua arah, tetapi juga berwujud pelaksanaan hubungan manusia yang efektif, antara pemimpin dengan sesama orang yang di pimpin. Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan mengmbil keputusan maupun dalam melaksanakannya.
d.             Fungsi delegasi
Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang membuat/menetapkan keputusan, baik melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan dari pimpinan. Pemimpin harus bersedia dan dapat mempercayai orang-orang lain, sesuai dengan posisi/jabatannya, apabila diberi/mendapat pelimpahan wewenang. Sedang penerima delegasi harus mampu memelihara kepercayaan itu, dengan melaksanakan secara bertanggung jawab.
e.              Fungsi pengendalian
Fungsi ini cenderung bersifat komunikasi satu arah, meskipun tidak mustahil untuk dilakukan dengan cara komunikasi dua arah, fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang sukses/efektif mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif, sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal.

3. Gaya Kepemimpinan
Pada dasarnya didalam gaya kepemimpinan terdapat 2 unsur utama , yaitu unsure pengarahan (directive behavior) dan unsure bantuan (supporting behavior) dari dua unsure tersebut gaya kepemimpinan dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu : (1) otokrasi (directing),  pembinaan (coaching), (3) demokrasi (supporting), dan (4) kendali bebas  (delegating).
French membagi gaya kepemimpinan menjadi 4 (empat), yaitu:
a.    Gaya kepemimpinan otokratis
Gaya kepemimpinan ini kadang-kadang dikatakan kepemimpinan yang terpusat pada diri pemimpin (leader centre) atau gaya directif. Gaya ini di tandai dengan sangat banyak petunjuk yang datangnya dari pemimpin dan sangat terbatasnya bahkan sama sekali tidak adanya peran serta anak buah dalan perencanaan dan pengambilan keputusan.
Pemimpin secara sepihak menentukan peran serta apa, bagaimana, kapan, dan bilamana berbagai tugas harus dikerjakan. Yang menonjol dalam gaya ini adalah pemberian perintah. Pemimpin yang Otokratis  adalah seseorang yang memerintah dan menghendaki keparuhan, ia memerintah berdasarkan kemampuannya untuk memberikan hadiah serta menjatuhkan hukuman.
b.  Gaya Kepemimpinan Birokratis
Gaya kepemimpinan ini dapat dilukiskan dengan kalimat “memimpin berdasarkan peraturan”. Perilaku pemimpin di tandai dengan ketaatan  pelaksanaan prosedur yang berlakubagi pemimpin dan anak buahnya. Sebenarnya gaya kepemimpinan ini merupakan bentuk lain dari gaya kepemimpinan otokrasi.
c.  Gaya Kepemimpinan Demokratis
Gaya kepemimpinan ini kadang-kadang disebut juga dengan gaya kepemimpinan yang terpusat pada anak buah (employee centre), kepemimpinan dengan kesederajatan (egualitarian), kepemimpinan konsultatif  atau partisipasif.  Dalam gaya kepemimpinan ini terjadi komunikasi dua arah. Pemimpin berkumunikasi dengan anak buahnya untuk merumuskan tindakan dan keputusan bersama. Keputusan bersama itu tentu saja tidak mencakup keputusan tujuan organisasi.
d.      Gaya Kepemimpianan Bebas 
Menurut Rustandi (1987:27) Dalam gaya kepemimpinan ini pemimpin sedikit sekali menggunakan kekuasaan atau sama sekali membiarkan anak buahnya untuk berbuat sesuka hatinya. Gaya kepemimpinan bebas biasa dikatakan tiada kepemimpinan. Pemimpin melimpahkan semuanya kepada anak buahnya dalam menentukan tujuan serta cara yang di pilih untuk mencapai tujuan itu. Peran pemimpin adalah menyediakan keterangan yang diperlukan serta mengadakan hubungan dengan pihak luar.

4. Bias Gender dan Ketidakadilan Gender Dalam Kepemimpinan
Gender diartikan sebagai konstruksi sosiokultural yang membedakan karakteristik maskulin dan feminin. Maskulin diartikan sebagai karakteristik seksual yang bersifat kelelaki-lelakian, seperti gagah perkasa, kuat, rasional, jantan bahkan bersifat kasar sedangkan feminin merupakan karakteristik seksual yang bersifat perempuan, seperti lemah-lembut, penyabar, keibuan, dan sejenisnya (Muthali’in, 2001:29).

Konstruksi sifat feminin dan maskulin diatas telah berdampak pada peran apa yang harus dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. berdasarkan sifat femininnya, perempuan mendapatkan peran di sektor domestik, sedangkan laki-laki dengan sifat maskulinnya mendapatkan peran disektor publik. pekerjaan domestik diartikan sebagai suatu cara bagi perempuan menghasilkan angkatan kerja bagi kapitalisme dengan melayani rumah dan mensosialisasikan keluarga mereka. pekerjaan domestik itu antara lain, mencuci, menyetrika, memasak, mengasuh anak, yang mana pekerjaan ini sesuai dengan sifat  feminin seorang perempuan yaitu membutuhkan kehalusan, kesabaran, kearifan, dan sebagainya. sedangkan peran publik diartikan sebagai pekerjaan diluar rumah yang penuh dengan intrik dan kekerasan serta memerlukan kekuatan fisik untuk melakukannya. dengan sifat maskulin, maka laki-laki pantas melakukan peran tersebut (Muthali’in, 2001:30).

Proses sosialisasi gender yang secara terus menerus dilakukan dalam budaya patriarki telah menciptakan ketidakadilan gender (gender inequalities) yang dapat di alami oleh laki-laki maupun perempuan. ketidakadilan gender merupakan system dan struktur di mana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari system tersebut (Fakih, 2001:58).

Ketidakadilan gender terjadi manakala seseorang diperlakukan berbeda (tidakadil) berdasarkan alasan gender. misalnya, seseorang perempuan yang di tolak kerja sebagai supir bis Karen supir di anggap bukan pekerjaan untuk perempuan, atau seorang laki-laki yang tidak bisa menjadi guru TK karena di anggap tidak bisa berlemah lembut dan tidak bisa mengurus anak-anak kecil. Namun pada kebanyakan kasus, ketidakadilan gender lebih banyak terjadi pada perempuan. Itulah juga sebabnya masalah yang berkaitan dengan gender sering diidentikkan dengan masalah kaum perempuan.
Bentuk-bentuk ketidakadilan gender:
1.     Subordinasi
Penomorduaan atau subordinasi pada dasarnya adalah pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini adalah terhadap perempuan. Penomorduaan terhadap perempuan (subordinasi) merupakan titik pangkal terjadinya ketidakadilan gender. Penomorduaan terjadi karena segala sesuatunya  di pandang dari kaca mata/sudut pandang laki-laki. Artinya menempatkan laki-laki sebagai nomor satu atau lebih penting di banding perempuan. sebaliknya, ketika terjadi penomorduaan terhadap perempuan menimbulkan anggapan bahwa perempuan menyandang ‘label’ lemah dan laki-laki kuat.
2.     Marginalisasi
Marginalisasi secara umum berarti proses penyingkiran. Namun, dalam literatur studi perempuan sering muncul kerancuan dalam menggunakan konsep ini. Untuk itulah, muncul analisis kritis mengenai konsep marginalisasi oleh Alison scott (Saptari, 1997:8-9) bahwa berbagai bentuk marginalisasi, yaitu:
a.       Sebagai proses pengucilan (expulsion and/or exclution), yakni perempuan dikucilkan dari kerja upahan (produksi)
b.      Sebagai proses penggeseran tenaga kerja perempuan kepinggiran (margins) dari pasar tenaga kerja, yakni adanya kecenderungan bagi perempuan untuk bekerja pada jenis-jenis pekerjaan yang mempunyai kelangsungan hidup tidak stabil, upahnya rendah atau di nilai tidak trampil.
c.       Sebagai proses feminisasi atau segregasi, yakni adanya pemusatan tenaga kerja kedalam jenis-jenis pekerjaan tertentu, sehingga bisa dikatakan bahwa jenis-jenis pekerjaan tersebut sudah sudah terfeminisasi (di isi semata-mata oleh perempuan). Meskipun feminisasi tidak identik dengan marginalisasi, namun sering kali hasilnya memang demikian. Segregasi yang di maksud adalah pemisahan pekerjaan yang semata-mata dilakukan oleh laki-laki ataupun oleh perempuan.
d.      Sebagai proses ketimpangan ekonomi yang makin meningkat, di mana marginalisasi menunjukkan adanya ketimpangan upah antara laki-laki dengan perempuan.
3. Stereotype
Umumnya stereotype diartikan sebagai pelabelan atau penanda tertentu terhadap suatu kelompok tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya stereotype cenderung merupakan suatu bentuk penindasan ideology dan kultural yang memojokan salah satu jenis kelamin tertentu, terutama kaum perempuan. Label-label tertentu yang diberikan kepada perempuan menyebabkan banyak ketidakadilan yang dapat di terima oleh kaum perempuan. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya (Fakih, 2001:32).
4. Beban Kerja
Ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan bisa berbentuk muatan pekerjaan yang berlebihan. Anggapan yang berkembang hingga saat ini adalah kaum perempuan secara kodrati memiliki tanggung jawab yang besar terhadap rumah tangganya. Artinya seluruh pekerjaan domestik merupakan beban yang harus dikerjakan oleh seorang perempuan. Beban kerja perempuan menjadi semakin bertambah banyak dengan tambahan kegiatan-kegiatan yang dia ikuti di luar rumah. Hal ini disebabkan karena pada saat yang bersamaan perempuan masih terbebani dengan setumpuk tugas dan pekerjaan di dalam rumah tangganya (domestik)(William, 2006:21).
5.      Kekerasan
Kekerasan (violence) adalah serangan (assault) adalah fisik maupun integrasi mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia dapat terjadi karena berbagai hal, Namun kekerasan yang terjadi pada salah satu jenis kelamin tersebut disebabkan karena anggapan gender yang di sebut sebagai gender-related violence.
Gender merupakan perbedaan mengenai fungsi dan peranan sosial laki-laki dan perempuan yang di bentuk oleh lingkungan tempat kita berada. Gender lebih berkaitan dengan anggapan dan kebiasaan yang berlaku di suatu tempat tentang bagaimana laki-laki dan perempuan di anggap sesuai atau tidak sesuai (tidak lumrah) dengan tata sosial dengan tata nilai sosial dan budaya setempat. Mengenai gender dalam kepemimpinan baik kepemimpinan di lembaga pemerintahan ataupun lembaga swasta, kaum laki-laki lebih mendominasi menjadi pemimpin dibandingkan dengan kaum perempuan. Semua ini merupakan pekerjaan rumah bagi kaum perempuan untuk bisa membuktikan kepada masyarakat Indonesia bahwa perempuan juga mampu untuk menjadi seorang pemimpin yang lebih baik dari pada kaum laki-laki.

C.    Sikap Masyarakat Terhadap Kepemimpinan Perempuan
Berikut ini akan dikemukakan beberapa pengertian sikap. Kelompok yang berorientasi pada teori kognitif menyatakan “sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif, dan konatif, yang berinteraksi dalam memahami, merasakan, dan berprilaku terhadap suatu objek”. (Saefuddin azwar, 1988:4).

Sementara itu WA Gerungan memberikan pengertian sikap, yang dimaksudnya sama dengan pengertian yang dikemukakan di atas yakni:
“attitude (sikap) dapat kita terjemahkan dengan sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau perasaan, tetapi sikap tersebut disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap yang objek tadi itu. Jadi attitude itu dapat diterjemahkan sebagai sikap dan kesediaan baraksi terhadap suatu hal, suatu objek tidak ada attitude tanpa ada objek”.(1996:149)
Demikian halnya juga AW  Masri (1986:176) memberikan pengertian sebagai berikut : Attitude dapat diartikan sebagai suatu sikap yang diarahkan untuk menilai dan menanggapi objek tertentu. Objek yang di maksud dapat berbentuk respon atau situasi. Bagaimana respon yang dapat kita berikan kepada person atau situasi itu, itulah yang merupakan penggambaran dari sikap atau attitude terhadap objek tersebut.

Dari beberapa batasan yang telah dikemukakan ada sebelumnya, menurut penulis dapat di tarik suatu Kesimpulan bahwa jika membicarakan sikap, unsur-unsur yang terkandung meliputi: (1) ada objek sikap, (2) dengan demikian pula subjek sikap, dan (3) adanya respon, tanggapan dan penilaian.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan sikap adalah perasaan atau penilaian yang lebih positif atau negatif terhadap salah satu pihak terkait kepemimpinan perempuan maupun laki-laki dalam pemerintahan desa.

Berkenaan dengan sikap sosial atau sikap masyarakat, seperti yang di kutip dalam  Mar’at (1984:10) Cambell mendefinisikan sebagai “syndrome of response with regard to social objects”, maksudnya sikap merupakan tanggapan individu pada objek tertentu atau objek sosial tertentu.

 Abu Ahmad, 1999:161 mendefinisikan sikap masyarakat/sikap sosial adalah kesadaran individu yang menetukan perbuatan yang nyata, yang berulang-ulang terhadap objek sosial. Sikap sosial dinyatakan tidak oleh satu orang saja tetapi diperhatikan oleh orang-orang sekelompoknya.

WA Gerung merumuskan sikap sosial sebagai berikut:
“suatu sttitude sosial dinyatakan oleh cara kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap objek sosial. Attitude sosial menyebabkan terjadinya cara-cara tingkah laku yang dinyatakan berulang-ulang terhadap suatu objek sosial, dan biasanya attitude sosial itu dinyatakan tidak seorang saja, tetapi juga oleh orang lain yang sekelompok atau semasyarakat”.(1986:150)

Pada hakikatnya, sikap masyarakat ini diarahkan untuk menanggapi kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan desa dan bagaimana respon yang diberikan masyarakat itulah sikap masyarakat. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi dan menggerakkan orang lain untuk mencapai tujuan bersama sesuai dengan keinginan pemimpin. Kepemimpinan ada yang bersifat resmi (formal) yaitu kepemimpinan yang tersimpul di dalam suatu jabatan dan ada pula kepemimpinan karena pengkuan dari masyarakat akan kemampuan sesorang untuk menjalankan kepemimpinannya.

Kepemimpinan perempuan mempunyai perbedaan dengan kepemimpinan laki-laki “bahwa dalam kepemimpinan perempuan lebih bijaksana, lebih berani mengungkapkan pendapatnya dan perempuan bisa berlaku sebagai ibu. Sedangkan laki-laki lebih tegas disaat genting, lebih konsekuen, dan rasional. Selain itu masih ada juga yang beranggapan bahwa kepemimpinan perempuan mempunyai kelemahan , yaitu:
1.      Perempuan kurang berorientasi karir.
2.      Perempuan kurang memiliki potensi kepemimpinan.
3.      Perempuan selalu bergantung sifatnya.
4.      Perempuan memiliki emosi yang stabil.

Penelitian ini lebih menitik beratkan pada kepemimpinan formal artinya perempuan yang mengontrol institusi-institusi masyarakat yang berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak. Adapun institusi yang dibahas disini adalah kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan desa terkait dengan fungsi-fungsi kepemimpinan dan gaya kepemimpinan.

Sikap masyarakat terhadap kepemimpinan perempuan dalam pemerintahan desa adalah respon atau tanggapan yang diberikan masyarakat yang berupa penilaian negatif (menolak) atau positif (menerima). Respon atau tanggapan yang diberikan masyarakat terkait dengan kemampuan kepala kampung perempuan dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan, gaya kepemimpinan yang digunakan kepala desa perempuan, kesadaran gender dalam masyarakat, serta nilai sosial budaya yang di yakini masyarakat.